Pak Anton dan Becak Motornya: Menyusuri Kota, Mengayuh Harapan

JELAJAHNEWS.ID – Di sudut jalan yang riuh oleh klakson dan langkah terburu, tampak sosok sederhana duduk di atas becak motor yang telah melewati usia. Warnanya pudar, rangkanya berkarat, namun di balik itu semua, ada cerita tentang keteguhan hidup yang tak lekang waktu.

Namanya Pak Anton. Usianya 43 tahun. Wajahnya ramah, senyumnya tipis namun tulus-senyum yang tak pernah benar-benar hilang, meski hidup acap kali mengetuk dengan getir.

Setiap pagi, pria paruh baya ini menyalakan mesin becaknya-sebuah kendaraan modifikasi yang ia rakit sendiri dari motor tua, diberi atap seadanya untuk melindungi penumpang dari panas dan hujan. Bukan kendaraan yang nyaman, apalagi mewah, namun cukup untuk mengantar harapan dari satu titik ke titik lain.

“Saya nggak punya ijazah tinggi, tapi saya punya kemauan,” ujarnya sambil membetulkan topi lusuh yang seperti sudah menjadi bagian dari tubuhnya.

Dulu, Pak Anton sempat bekerja serabutan. Namun hidup membawanya pada pilihan menjadi tukang ojek becak motor. Baginya, profesi ini bukan sekadar sumber nafkah, melainkan jembatan untuk lebih dekat dengan masyarakat, dengan cerita, dan dengan manusia itu sendiri.

Hampir setiap hari, ia mengantar ibu-ibu ke pasar, anak-anak ke sekolah, hingga karyawan yang terburu-buru mengejar waktu. Mereka bukan sekadar penumpang.

“Mereka sudah seperti keluarga,” katanya dengan bangga.

Ia tahu nama-nama mereka, hafal tawa mereka, bahkan sesekali menjadi pendengar setia untuk curhat singkat sepanjang perjalanan.

Becak Tua, Cerita Tak Pernah Usang

Pak Anton tak hanya hafal jalur kota, tapi juga menyimpan kenangan pada setiap sudut jalan. Di mana ia pernah mogok, tempat biasa ia beli gorengan murah, atau sudut sepi yang dulu jadi tempat berteduh. “Kalau becak ini bisa ngomong, pasti sudah bisa nulis buku,” candanya.

Namun roda hidup tak selalu mulus. Suatu hari, mesin becaknya rusak parah. Ia sempat bingung, bahkan nyaris menyerah. Tapi harapan datang dalam bentuk yang tak disangka: para penumpang setia menggalang dana seadanya. Hasilnya cukup untuk memperbaiki becak dan mengembalikan mata pencahariannya.

“Saya terharu. Ternyata yang saya anggap penumpang, mereka anggap saya teman,” ucapnya pelan, nyaris berbisik.

Di tengah hiruk-pikuk zaman digital dan transportasi modern yang bisa dipesan lewat aplikasi, Pak Anton tetap setia dengan becak motornya. Ia tak menuntut kemewahan. Bagi dia, harapan cukup hadir dalam bentuk kendaraan tua yang setia menemaninya menyusuri hari.

Dalam setiap deru mesin dan gemuruh jalanan, Pak Anton menyampaikan pesan sederhana: bahwa dalam hidup, kejujuran dan ketekunan adalah kemewahan sejati.(jns)