Keinginan Pemerintah Dorong Petumbuhan Ekonomi Tahun Ini Tak Akan Mudah

JELAJAHNEWS.ID, JAKARTA – Keinginan pemerintah untuk menarik investasi besar sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi di tahun ini sepertinya tak akan mudah.

Pasalnya, di tahun-tahun sebelumnya masih banyak komitmen investasi yang belum dapat direalisasikan. Sebut saja beberapa komitmen investasi jumbo seperti Contemporary Amperex Technology Co. Ltd yang telah menandatangani komitmen investasi USD.4,6 miliar atau setara Rp.67,8 tiliun untuk pengembangan baterai listrik di Indonesia.

Lalu ada Abu Dhabi yang menyatakan komitmen investasi hingga USD.22,8 miliar atau Rp.319,8 triliun di awal 2020 lalu. Menanggapi hal tersebut, Peneliti senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati mengatakan, pemerintah harus segera menyelesaikan masalah-masalah yang menjadi penghambat investor dalam merealisasikan investasinya. Sebab, ketika investor sudah menyatakan komitmen investasi, artinya mereka memang sudah berniat berinvestasi di Indonesia.

“Karena investasi ini sifatnya principal, maka yang menawarkan efisiensi itu yang akan dipilih. Misalnya Vietnam yang menawarkan efisiensi investasi di bidang otomotif sehingga pabrikan otomotif banyak membuat pabrik di sana,” kata Enny belum lama ini.

Seharusnya, lanjut Enny, hal-hal seperti itu menjadi panduan bagi pemerintah dalam memberikan fasilitas investasi, tergantung pada sektornya. Menurutnya, insentif saja belum menjadi daya tarik. Untuk insentif penerima PPh Badan misalnya, beberapa negara dengan PPh Badan yang lebih tinggi dari Indonesia tetap menarik bagi investor. Oleh karena itu dibutuhkan adanya pemetaan tingkat efektivitas dari sebuah kebijakan.

“Jadi perlu ada regulatory impact assessment (RIA)-nya. Ini kan banyak yang salah tembak,” katanya.

Pemetaan tersebut bertujuan untuk mengetahui apa yang sebenarnya dibutuhkan investor dan apa yang menjadi daya tarik bagi mereka. Dengan demikian, pemerintah tidak membuang-buang insentif yang tidak tepat sasaran.

“Intinya yang harus dilakukan pemerintah adalah fokus membuat yang namanya policy industry. Indonesia mau mengembangkan industri apa sebenarnya, yang masih kompetitif dan memiliki multiplier effect, nilai tambah dan sebagainya. Itulah yang mestinya ‘diguyur’ insentif habis-habisan,” ungkapnya.

Salah satu contohnya industri berbasis teknologi tinggi. Apalagi investor di sektor tersebut sudah banyak yang menyatakan minat investasinya. Sebut saja produsen mobil listrik hingga produsen baterai dari Amerika Serikat, Korea hingga Jepang.

“Ketika investasi, jangan hanya memindahkan pabrik, tapi bahan baku perlahan harus dari dalam negeri, tidak impor. Juga harus ada transfer teknologi,” sebut Enny.

Terpisah, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia mengatakan, tahun ini BKPM memang akan mulai fokus pada investasi yang memiliki teknologi tinggi dan padat karya. Dengan fokus pada transformasi sektor yang memiliki teknologi tinggi tersebut, diharapkan dapat menaikkan nilai tambah melalui hilirisasi.

“Investor hanya perlu datang membawa modal dan teknologi. Lahan dan perizinan akan didukung penuh oleh pemerintah. Ini momentum untuk membangun industri-industri yang menciptakan nilai tambah,” kata Bahlil beberapa waktu lalu.

Ia mengakui bahwa realisasi investasi saat ini belum optimal karena memang tidak mudah merealisasikan komitmen investasi meskipun investor telah berkomitmen. Masih banyak kendala yang dihadapi di lapangan. Mulai dari regulasi yang tumpang tindih hingga ego sektoral. Meski begitu, BKPM berjanji bakal menyelesaikan seluruh kendala-kendala tersebut. Misalnya saja pada 2019 lalu, Bahlil mengatakan ada sekitar Rp.700 triliun investasi mangkrak.

“Ada banyak investasi mangkrak, ini kami genjot, apa sih masalahnya. Pada 2020 sudah kami selesaikan Rp.479 triliun,” ujarnya.

Di lain sisi, hampir di seluruh dunia terjadi penurunan investasi, terutama Foreign Direct Investment (FDI) yang turun sekitar 30-40 persen. Sedangkan di Indonesia penurunan FDI hanya 7 – 8 persen. Nah agar FDI tidak turun terlalu tinggi, kini hampir seluruh perizinan akan ditangani BKPM.

“Para CEO (chief executive officer) yang saya hormati, kalau ada masalah perizinan yang belum terselesaikan dan sudah mau realisasi, silakan datang ke BKPM. Tapi jangan dijual-jual itu izinnya, banyak juga pengusaha yang begini. Jadi mari kita sama-sama selesaikan itu,” tandas Bahlil. (dtc)