Implementasi Konsensus Dasar Negara Mampu Tangkal Radikalisme

JELAJAHNEWS.ID, MEDAN – Gubernur Sumatera Utara (Gubsu), Edy Rahmayadi berdialog bersama Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Boy Rafli Amar dan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Sumut di Pendopo Rumah Dinas Gubernur, Selasa (1/12).

Dialog tersebut membahas radikalisme. Radikalisme adalah paham yang bersifat memaksakan kehendaknya, apalagi dengan menggunakan kekerasan. Orang yang melakukan teror dan kekerasan adalah orang yang tidak bertanggung jawab. Menurut Edy, radikalisme dapat ditangkal jika semua pihak mengimplementasikan 4 konsensus dasar Negara Indonesia, yakni Pancasila, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika.

“Radikalisme adalah sikap ekstrem dalam sebuah aliran. Dia suka memaksakan kehendak apa yang ada di dalam pikirannya. Namun jangan salah mengartikan dengan orang yang bersikap kritis langsung dikatakan radikal, selama masih di dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berasaskan Pancasila sah-sah saja,” ujar Edy.

Edy juga menyampaikan, tugas anak bangsa saat ini adalah mengisi kemerdekaan. Dengan cara berkontribusi membesarkan dan membangun daerah. Sehingga cita-cita para pendahulu yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dapat terwujud.

“Mari kita isi kemerdekaan ini, sehingga terwujud cita-cita para pendiri bangsa kita, salah satunya rakyat makmur dan sejahtera,” katanya.

Terkait para mantan narapidana teroris (Napiter) sudah tobat dan banyak melakukan hal-hal positif, Edy sangat mengapresiasi. Ia mengharapkan agar mantan napi tersebut tidak lagi kembali seperti di masa lalu.

“Kita berdoa yang pastinya anda tak boleh lagi kembali ke masa lalu. Jangankan berbuat, berpikir seperti itu pun tak boleh lagi, karena bangsa ini milik kita bersama,” sebut Edy.

Sementara itu, Kepala BNPT, Boy Rafli Amar meminta para pemegang kebijakan agar senantiasa memberi edukasi kepada segenap pengguna media sosial di daerahnya. Karena menurutnya salah satu sumber penyebab menyebarnya paham radikalisme intoleran adalah media sosial.

“Di media sosial banyak sekali informasi yang mengarah atau bersifat hoaks dan ujaran kebencian. Agar terbangun sifat peradaban yang lebih baik di dunia maya, kami mohon kepada pemegang kebijakan membantu edukasi kepada pengguna media sosial,” kata Boy Rafli.

Ia pun mencontohkan, untuk kasus ISIS, banyak orang bergabung dengan organisasi teroris global tersebut lantaran menerima propaganda di media sosial. Menurutnya organisasi tersebut menguasai jaringan komunikasi di seluruh dunia. Meski tidak pernah saling bertatap muka, ISIS telah mengajak sekitar 35.000 warga untuk bergabung. Kurang lebih 1.200 orang berasal dari Indonesia.

“Jaringan teroris tidak hanya menyebarluaskan propaganda secara tatap muka tapi dengan media sosial,” ungkapnya.

Pada kesempatan tersebut, juga hadir salah satu mantan narapidana teroris (Napiter) asal Sumut yakni Toni Togar. Ia sudah menjalani hukuman selama 12,5 tahun. Setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan, Toni mencoba membuka sebuah usaha yang bergerak di bidang produksi sabun cair. Hal tesebut dilakukannya agar dapat mandiri serta bisa kembali membaur dengan masyarakat. Meski begitu, Toni mengharapkan agar pemerintah daerah dapat memberi perhatian khusus kepada para mantan narapidana sepertinya.

“Yang sulit setelah keluar dari lapas, kita sulit membangun ekonomi dan kehidupan. Saya harapkan Pemda bersinergi dengan kami,” kata Toni. (IP)