Didakwa Merusak Hutan, Petani Miskin di Paluta Masuk Penjara, PH: Dakwaan Jaksa Prematur

JELAJAHNEWS.ID – Sumarno (43) seorang petani miskin dari Desa Kosik Putih Kecamatan Simangambat, Kabupaten Padang Lawas Utara (Paluta) ditahan oleh Kejaksaan Negeri Paluta sejak Kamis (10/11/2022) bulan lalu.

Sumarno ditahan di Lapas Gunung Tua selama 20 hari terhitung sejak tanggal 10 November 2022 sampai dengan tanggal 29 November 2022 dan ditanda tangani oleh Hartam Ediyanto.

Perintah penahanan itu datang dari Kajari Paluta kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) Sesy Septiana Sembiring, Riyan Widya Putra dan Erwin Ade Putra Silaban untuk melakukan penahanan terhadap terdakwa.

Ayah dari lima (5) orang anak ini ditahan Kejaksaan berdasarkan surat nomor Print-680/ L.2.34/Eku.2/11/2022. Kini terdakwa Sumarno menjadi pesakitan di dalam sel.

Adapun alasan jaksa menahan terdakwa, hasil pemeriksaan berkas dari penyidik diperoleh bukti yang cukup. Dan di khawatirkan melarikan diri, merusak atau menghilangkan alat bukti serta mengulangi perbuatan, karenanya surat perintah dikeluarkan.

Ia didakwa melakukan tindak pidana mengerjakan, menggunakan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah di Desa Kosik Putih Kecamatan Simangambat, Kabupaten Paluta.

Perbuatan terdakwa di pidana dengan Pasal 78 ayat (2) jo Pasal (50) ayat (2) huruf UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan junto Pasal 35 dan 36 UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Sebagaimana diketahui, lahan kawasan hutan milik negara yang dulunya di fungsikan kelompok tani didukung dari Dinas Pertanian Paluta dengan memberi bibit sawit kini menjadi permasalahan untuk seorang petani ini.

Terkait hal itu, dahulu tidak ada sosialisasi dari Dinas Kehutanan ataupun instansi terkait bahwa lahan tersebut tidak diperbolehkan untuk digunakan berkebun oleh masyarakat.

Awalnya masalah ini muncul tatkala PT Sumatera Riang Lestari (SRL) menuding terdakwa telah menduduki kawasan hutan secara tidak sah, padahal seharusnya jika keberatan maka yang melaporkan adalah pihak instasnsi terkait dalam hal ini pemerintah.

Sumarno ditahan, kini istrinya, Priyanti (41) yang tinggal di perkebunan harus memikul tanggung jawab sendirian demi keluarga menafkahi kelima anak hasil buah cinta mereka, memberi makan dan kebutuhan sehari-hari.

Menanggapi itu kuasa hukum terdakwa, M Sulaiman Harahap didampingi Ketua KAI (Kongres Advokat Indonesia) Tabagsel Subur Siregar menegaskan pihaknya merasa banyak kejanggalan dalam surat dakwaan JPU Kejari Paluta tersebut.

Sulaiman mengatakan dari surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) ada banyak kejanggalan di mana dakwaannya merupakan pelanggaran sanksi adminstratif dan tidak termasuk pelanggaran tindak pidana.

Hal itu berdasarkan PP Nomor 24 Tahun 2021 tentang tata cara penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari denda adminstratif di bidang Kehutanan Pasal 3 ayat (3), yang berbunyi setiap orang yang melakukan kegiatan usaha pertambangan, perkebunan, dan atau kegiatan lain yang telah terbangun dalam kawasan hutan yang dilakukan sebelum berlakunya UU Cipta Kerja, yang tidak memiliki perizinan di bidang Kehutanan, dikenai sanksi adminstratif.

Lanjut Sulaiman mengatakan Indonesia memiliki banyak peraturan terkait dengan kehutanan, salah satu yang terbaru dapat ditemukan dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta kerja.

“Kita ketahui bahwa UU ini sempat mendapatkan protes/penolakan dari beberapa masyarakat meski demikian perlu diketahui bahwa di dalam UU Cipta Kerja tersebut memuat beberapa perubahan atas UU No 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H),” terang Sulaiman, Kamis (15/12/2022).

Muatan perubahan itu salah satunya, kata Sulaiman, diatur dalam Pasal 110 A dan Pasal 110 B UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta kerja yang berbunyi, Pasal 110B UU Cipta kerja: (1):

“Setiap orang yang melakukan pelanggaran sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 17(1) huruf b, huruf c, dan/atau huruf e dan/atau huruf e, atau kegiatan lain dikawasan hutan tanpa memiliki perizinan berusaha yang dilakukan sebelum berlakunya UU ini dikenai sanksi adminstratif berupa, a. Penghentian sementara kegiatan usaha, b. Pembayaran denda adminstratif, dan atau paksaan pemerintah.

Maka lanjut Sulaiman, dilatarbelakangi oleh pemahaman yang keliru, selalu menganggap seorang petani yang berada di dalam Kawasan Hutan adalah seorang “perambah/penggarap kawasan Hutan”, seolah menutup mata akan sebuah kenyataan bahwa dibeberapa tempat sering ditemui adanya kelompok masyarakat Hukum adat yang sudah berada dalam kawasan hutan secara turun-temurun jauh sebelum ditetapkannya kawasan hutan itu sendiri, dengan demikian setelah membaca apa yang tertuang dalam Pasal 110 B dalam UU Cipta Kerja.

“Kita dapat merasakan bahwa ini wujud nyata atas pengakuan Negara terhadap hak-hak negara, walaupun kebijakan pembatas luas kepemilikan hak atas lahan dalam kawasan hutan adalah paling banyak 5 Ha, namun ini sudah cukup untuk memberikan sebuah kepastian hukum bagi para petani/penduduk asli setempat yang tinggal dan bergantung pada kawasan Hutan,” ucap Sulaiman.

Oleh karena itu, ia berpendapat muatan dalam UU No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, khusus Pasal yang mengatur tentang perubahan UU pencegahan dan pemberantasan pengrusakan (P3H) telah disesuaikan dengan keadaan fakta historis, maupun fakta yuridis yang sebenar-benarnya.

“Yang paling saya banggakan adalah sebuah terobosan hukum yang mengedepankan Azas Ultimum Remedium yaitu sebuah solusi yang memposisikan hukum pidana (pemidanaan) sebagai suatu upaya terakhir dalam penegakkan Hukum,” terangnya.

Tidak hanya itu, ia pun menjelaskan, aktivitas bertani harus lebih disadari bentuk tindakan bertahan hidup dari pada dianggap sebagai perambah hutan secara melawan hukum, Undang-undang Cipta Kerja hari ini telah menjadi solusi untuk kepastian hukum bagi para petani didalam kawasan hutan.

Selain itu, sebut Sulaiman, UU Cipta Kerja merupakan suatu Land Amnesti (pengampunan atas lahan) oleh Negara terhadap para petani dalam areal kawasan hutan.

Menurutnya, surat dakwaan JPU bahwa UU No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional secara bersyarat, bahwa Mahkamah Konstitusi menyatakan pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai dan tidak dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun.

Adapun putusan itu, dibacakan oleh Ketua MK Anwar Usman dalam sidang Uji Formil UU Cipta kerja pada tanggal 25/11/2021. Menurut Prof.Dr. Maria Farida Indrati, seorang Hakim Konstitusi pada Mahkamah Konstitusi Indonesia periode 2008-2018 dan juga seorang Guru Besar Ilmu Perundang-undangan di Universitas Indonesia keberlakuan suatu perundang-undangan didasarkan pada keabsahan secara Formil (sesuatu hal yang bersifat pasti) artinya putusan MK tentang UU Cipta kerja masih bersifat multitafsir.

“Majelis hakim aang terhormat apa yang didakwakan JPU kepada terdakwa menurut surat edaran Jaksa Agung dipahami bahwa untuk JPU surat dakwaan harus dibuat secara cermat artinya tuntutan ketelitian JPU dalam membuat surat dakwaan dengan menempatkan kata “cermat” paling depan dari rumusan pasal 143 (2) huruf B KUHAP, pembuat UU menghendaki JPU dalam membuat Surat Dakwaan selalu bersikap benar dan teliti,” terangnya.

Kemudian, kata Sulaiman, uraian secara jelas, berarti uraian kejadian atau fakta kejadian yang jelas dalam surat dakwaan sehingga dengan mudah memahami apa yang didakwakan terhadap dirinya dan terdakwa dapat mempersiapkan pembelaan dengan sebaik-baiknya. Selanjutnya uraian secara lengkap berarti surat dakwaan itu membuat semua unsur tindak pidana yang didakwakan.

“Unsur-unsur tersebut, harus tergambar didalam uraian fakta kejadian yang dituangkan dalam surat dakwaan,” pungkasnya.

Menurutnya, secara materil surat dakwaan dipandang telah memenuhi syarat apabila surat dakwaan itu telah memberi gambaran secara lengkap dengan demikian dapat dirumuskan bahwa syarat formil adalah syarat yang berhubungan dengan formalitas surat dakwaan sedangkan syarat-syarat materiil adalah syarat yang berhubungan dengan materi surat dakwaan.

“Untuk syarat keabsahan surat dakwaan kedua surat harus terpenuhi. Tidak terpenuhi syarat formil menyebabkan surat dakwaan dapat dibatalkan atau (vernietigbaar) sedangkan tidak terpenuhinya syarat materiil menyebabkan dakwaan batal demi hukum absolut nietig,” ungkapnya.

Dengan demikian, kuasa hukum berkesimpulan bahwa surat dakwaan ternyata tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHP yaitu tidak disusun secara cermat jelas dan lengkap karena rumusannya tidak akurat, meragukan dan kontradiktif.

Bahwa permasalahan tersebut masih harus mendapatkan pengujian sengketa kepemilikan (case perdata) apakah tanah tersebut merupakah tanah ulayat (tanah adat) atau bukan, permasalahan tersebut bukan merupakan ranah pidana melainkan pelanggaran berupa sanksi adminstratif.

Dari hal-hal yang telah terurai diatas tim kuasa hukum terdakwa meminta kepada hakim untuk menetapkan dakwaan penuntut umum atas nama terdakwa Sumarno Prematur karena Prejudiciel Geschil dan menangguhkan pemeriksaan perkara pidana Nomor 349/Pid.Sus/2022/PN. Psp atas nama terdakwa Sumarno sampai dengan putusan perkara Perdata Nomor:48/Pdt.G/2022/PN Psp berkekuatan hukum tetap.

Terakhir, Sulaiman meminta kepada hakim Pengadilan Negeri Paluta memerintahkan terdakwa segera dibebaskan dari tahanan setelah putusan ini diucapkan, dan menangguhkan biaya perkara sampai dengan putusan akhir dalam pokok perkara. (JN-RKD).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *